Kalau bicara tentang tahu, makanan olahan kedelai favorit saya, masa kecil saya banyak dihabiskan di pabrik tahu. Di Paron, kampung halaman saya, ada desa bernama Gelung, dan di salah satu gang-nya banyak sekali pabrik tahu beroperasi, tak heran jika dinamakan Gang Tahu. Salah satu teman SD saya bernama Ponirah, ayahnya bekerja di pabrik tahu tersebut. Setiap pulang sekolah, setelah makan siang, saya akan meluncur ke rumah Pon (nama panggilannya) untuk ikut melihat proses pembuatan tahu. Ponirah biasanya membantu ayahnya di pabrik. Saat itu saya tidak berani bertanya proses apa saja yang mereka lakukan, selain Pon menjelaskan bahwa setelah biji kedelai direndam semalaman hingga mengembang besar, lantas dimasukkan ke mesin penggiling. Mesin ini akan merubah kedelai menjadi bubur yang teksturnya super halus. Bubur kedelai ini lantas ditambahkan air dan disaring menggunakan kain tahu yang tergantung di tengah-tengah sebuah bejana besar yang dimasak menggunakan kayu bakar. Kain saringan ini dikaitkan dengan tali yang bisa dinaikkan dan diturunkan.
Sari
kedelai yang dimasak ini perlahan akan menggumpal, gumpalan yang terbentuk
inilah yang kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam cetakan-cetakan tahu yang
terbuat dari kayu. Pon tidak menjelaskan bahwa untuk membuat sari kedelai menggumpal
dibutuhkan satu bahan khusus, atau biasa disebut koagulan, biasanya sejenis
garam atau asam. Jadi saya tak pernah bertanya lebih jauh lagi, hanya kalau
diingat-ingat kembali, saya tidak begitu suka dengan taste tahu dari Gang Paron
karena rasanya agak asam. Jadi mungkin sejenis asam asetat yang dipakai untuk
menggumpalkan sari tahu.